Books Essence, Daily Life, Opinion

Book Essence : The Start-up of You

The Start-up of You

The Start-up of You

Belakangan ini, istilah startups menjamur di mana-mana dan identik dengan usaha di bidang digital technologi yang bisa membuat pendirinya kaya, seperti Mark Zuckerberg dengan Facebook atau Jack Dorsey dengan Twitter, serta masih banyak lagi pemain-pemain di bidang teknologi yang berhasil menjadi outliers dan miliarder dadakan. Di buku “The Start-up of You”, salah satu co-founder jejaring sosial profesional no 1 di dunia LinkedIn, Reid Hoffman, mencoba memberikan gambaran tentang dunia kerja yang sedang berubah drastis saat ini. Salah satu solusi yang menurutnya sangat baik dan membuat kita bisa adaptif adalah dengan menyusun karir kita seperti halnya membuat sebuah start-up. Salah satu fase menarik dalam daur hidup start-up adalah fase ‘beta’, di mana saat itu start-up sedang mencari model bisnis serta produk yang stabil dan dapat menghasilkan income yang rutin. Namun, Hoffman berpendapat bahwa fase permanent beta lah yang akan menjaga kehidupan start-up, yakni dengan terus berasumsi bahwa fase final tidak pernah tercapai sehingga perkembangan tetap terus dilakukan tanpa henti. Konsep permanent beta inilah yang menurut Hoffman akan mampu membuat diri kita beradaptasi terhadap lingkungan dan menyusun karir kita berdasarkan faktor internal dan eksternal di sekeliling kita.

Dulu, bisa jadi satu orang hanya bekerja di 1 perusahaan saja selama hidupnya. Karirnya sudah dapat ditebak mulai dari posisi paling bawah, hingga mencapai posisi yang cukup tinggi dan pensiun dengan nyaman. Tentu saja, saat itu, jumlah pekerja, terutama knowledge worker juga tidak terlalu banyak. Tangga piramida menuju ke puncak juga relatif lengang. Perusahaan juga tidak segan untuk mempertahankan karyawan yang under-performed, bahkan memberikan training dengan harapan karyawan tersebut mampu meningkatkan kinerjanya.

Zaman sekarang? Banyak kita jumpai generasi Y yang dengan mudah berpindah-pindah pekerjaan. Mereka sangat mengutamakan kenyamanan dalam bekerja, bukan lagi kemapanan. Resign dari sebuah pekerjaan dalam hitungan bulan sudah jamak dijumpai. Tidak hanya dari sisi pekerja, sisi perusahaan sebagai penyedia lapangan kerja juga turut berubah. Kini, perusahaan tidak lagi tertarik dengan talenta ‘mentah’. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan bisnis untuk menghadapi kompetisi yang semakin ketat, perusahaan juga meminta karyawan siap bekerja sejak hari pertama. Jika gagal perform, jalan keluar sudah terbuka lebar. Tidak berhenti sampai di sana, layanan outsourcing juga mulai berkembang. Perusahaan hanya ingin membayar karyawan yang memberikan added value paling besar bagi korporasi yang sesuai dengan core competencenya. Jika ada orang lain yang dapat menjalankan sebuah fungsi dengan biaya lebih murah, maka layanan tersebut pasti akan diambil oleh perusahaan. Untungnya saja, penggunaan layanan outsourcing juga telah dibatasi oleh undang-undang di Indonesia sehingga perusahaan tidak dapat meng-outsourcing-kan segala pekerjaan di dalam organisasinya.

Lantas, bagaimana menyikapi dunia kerja yang berubah sedemikian cepat? Saran Hoffman, tirulah para pendiri start-up dan entrepreneur. Bukan dalam hal membuat perusahaan sendiri (tentu hal yang bagus jika anda sekalian berwirausaha dan bisa membuka lapangan pekerjaan). Namun, yang bisa dipelajari adalah cara-cara pendiri tersebut secara umum menjalankan startupnya. Menjadi entrepreneur boleh dibilang merupakan pekerjaan yang penuh risiko dan ketidakpastian, namun sesungguhnya merekalah yang  merasakan pengaruh terkecil oleh guncangan stabilitas karena mereka justru telah terbiasa dengan hal-hal yang volatil tersebut. Bayangkan dampak krisis/resesi ekonomi yang berujung pada PHK massal bagi seorang wirausaha atau seorang karyawan kantoran yang selama ini hanya duduk manis di dalam kantor saja.

Tambahan lagi, menurut Career coach terkenal di Indonesia, Rene Suhardono, karir tidaklah sama dengan pekerjaan. Karir adalah milik setiap individu, sementara pekerjaan adalah milik perusahaan. Anda bisa dipecat dari pekerjaan, tapi tidak mungkin dipecat dari karir. Karir anda pun tidak harus mengikuti jalur konvensional yang sudah dijalankan oleh orang lain kan? Contoh, Sheryl Sandberg yang terkenal dengan bukunya Lean In. COO Facebook ini memulai karir di sebuah management consulting firm, lalu menjadi asisten dari menteri keuangan US saat itu. Jika menilik jalur konvensional, tentu Sheryl akan memilih terus berada di organisasi non-profit/pemerintah yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya (ilmu ekonomi). Namun, alih-alih menempuh jalur tsb, Sheryl memutuskan untuk menerima tawaran Eric Schmidt, CEO Google, yang percaya bahwa Sheryl memiliki kapasitas untuk menjadi salah satu Vice President Google. Bagi mereka yang percaya bahwa karir adalah sebuah garis lurus yang paten, tentu mereka akan terkaget-kaget menemui fakta tsb. Namun, karir yang dirintis Sheryl tentu berdasarkan keputusan dan visi/misi pribadinya sendiri.

Kembali ke buku tsb, Hoffman dan Casnocha berpendapat bahwa dengan menggunakan pola pikir start-up untuk menata karir, kita akan mampu beradaptasi dengan kondisi yang sangat dinamis saat ini. Berikut merupakan beberapa poin penting yang diajukan oleh kedua penulis tsb:

  • Menyusun competitive advantage diri kita yang terdiri dari 3 komponen, yaitu asset, aspirasi, serta realitas pada pasar. Asset merupakan semua yang kita miliki, baik hard asset (uang, produk) maupun soft asset (skill, pengalaman, dsb). Aspirasi adalah nilai-nilai yang kita yakini serta cita-cita yang hendak dicapai. Realitas pasar berkaitan dengan kondisi riil dalam pasar yang akan kita masuki. Dengan kombinasi yang tepat dari ketiga hal tersebut, kita dapat memperoleh competitive advantage yang unik.
  • Membuat rencana ABZ. Hoffman memperkenalkan konsep ABZ planning. Plan A merupakan plan utama yang hendak kita capai. Plan B merupakan salah satu alternatif dari plan A, di mana plan B dapat merupakan perbaikan dari Plan A, atau bidang lain yang masih berhubungan dengan plan A. Biasanya plan B akan ditemukan ketika kita sudah mulai menjalankan plan A dan pada saat itu, kita akan mengetahui dengan lebih jelas threat serta opportunity yang ada. Plan Z merupakan plan terakhir jika semua plan A dan B gagal. Oleh karena itu, plan Z merupakan jaring pengaman yang akan memberikan waktu tambahan bagi para wirausahawan untuk memulai Plan A nya lagi. Contoh, si X memiliki ide untuk membuat social networking khusus untuk pria. Setelah dilaunching, ternyata project tersebut kurang mendapat sambutan yang hangat. maka Plan B dapat segera dijalankan, apakah memperluas pasar (tidak dibatasi jenis kelamin) atau menambahkan fitur lain (menjual produk grooming dll). Sebagai jaring pengaman, X masih tinggal bersama orang tua yang memiliki toko kelontong. Seandainya plan A dan B gagal, X masih dapat tidur dengan nyaman di dalam rumah serta membantu orang tuanya di toko. Paling tidak, X memperoleh tambahan waktu sebelum mulai memikirkan plan A yang baru lagi.
  • Menjalin jaringan pertemanan profesional. Sebagai salah satu co-founder dari LinkedIn, Hoffman sangat paham pentingnya professional networking. Anda tidak pernah tahu kapan anda akan membutuhkan jaringan tersebut, namun alangkah baiknya jika sedari awal anda sudah berkomitmen untuk mulai berkenalan dan ikut dalam perkumpulan/klub sesuai dengan minat dan kepentingan anda. Ingat, di zaman yang serba overload dengan informasi ini, kalimat “Who You know?” sudah tidak relevan lagi. Yang paling penting adalah “Who Know You?”
  • Aktif mencari dan menciptakan peluang baru: Ciri dari entrepreneur adalah selalu mencari peluang baru. Salah satu cara paling mudah adalah dengan mengidentifikasi adanya masalah di sekitar kita dan mencari solusinya. Selain itu, peluang juga bisa diperoleh dari percakapan dengan orang lain, baik yang bergerak dalam bidang industri yang sama, atau justru bidang yang berbeda dengan kita. Hoffman memberikan contoh Benjamin Franklin yang terkenal sebagai entrepreneur sukses. Franklin bahkan mengadakan sebuah perkumpulan untuk diskusi sejak abad 17 dan para anggotanya terbukti mampu menemukan banyak peluang yang bagus meskipun bermula dari obrolan informal semata. Ada quota menarik yang saya pribadi sangat suka dan merasa terhenyak, “Many great opportunities almost never fit your schedule”. Seringkali kita memiliki ide brilian, namun dengan alasan “saya harus menyelesaikan hal ini, itu dll”, kita menunda bahkan melupakan dan mematikan ide tersebut. Jadi, mungkin ketika kita ‘diserang’ oleh ide bagus, jika memang ide tsb “worth it”, kita harus mulai menyediakan waktu sedikit demi sedikit untuk mengelolanya 🙂
  • Mengelola risiko dengan inteligen: Hoffman berpendapat bahwa risiko tidak akan pernah dapat dihindari oleh manusia sepanjang hidupnya. Semua tindakan akan memiliki risiko masing-masing. Yang berbeda hanyalah tingkat risikonya saja. Jika sebuah tindakan dikatakan berisiko, maka sebenarnya yang dimaksud adalah risikonya telah melewati ambang batas toleransi risiko kita. Untuk itu, kita perlu belajar untuk mengelola risiko dengan baik. Tidak jarang, entrepreneur sukses mampu meraup untung besar karena mampu melihat kesempatan *yang lebih besar* di balik sebuah risiko yang ditakuti oleh banyak orang lain.
  • Membangun jaringan inteligen. Tidak cukup hanya mengandalkan jaringan pertemanan serta mengelola risiko, Hoffman menyarankan agar kita membangun jaringan inteligen, yakni sebuah jaringan yang mampu memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan kita. Tentu saja, kita sebagai pihak di dalamnya tidak hanya pasif menerima informasi saja, namun kita juga harus terlibat aktif dan membagikan informasi yang dirasa berguna bagi anggota jaringan tersebut. Ingat, tidak semua informasi yang andal dapat kita temukan dalam textbook, majalah, atau koran. Seringkali informasi berharga justru diberikan oleh relasi kita yang tahu tentang hal tsb (misal: pakar di bidangnya, insider dari sebuah perusahaan, dll). Tidak berhenti pada mengumpulkan informasi, kita harus mampu melakukan sintesis terhadap informasi yang bertebaran tersebut hingga mampu menjadi sebuah informasi yang berguna untuk kebutuhan kita.

Demikian poin-poin yang dijelaskan oleh kedua penulis di atas (setiap poin dijabarkan dalam 1 chapter di dalam bukunya). Singkat kata, dunia kita makin terkoneksi antara satu tempat dengan yang lainnya. Mungkin hal yang disampaikan oleh Hoffman sudah terjadi di Amerika saat ini. Namun, saya percaya bahwa cepat atau lambat, hal serupa juga akan terjadi di Asia, khususnya Indonesia. Untuk itu, tidak ada salahnya kita mencoba mulai mengembangkan diri agar tidak tertinggal dalam persaingan yang semakin tajam ini.