Fiction, Flash Fiction

MALAM TERAKHIR

Saat pertama kali ku melihatmu, aku langsung tahu bahwa aku sudah mencintaimu, bahkan mungkin sebelum pertemuan itu. Perasaanku bagaikan penambang yang menemukan bongkahan emas, yang tidak pernah berhenti menggali semata karena keyakinan bahwa emas itu ada, namun belum kutemukan saja. Maka, begitu kau menyapaku dengan anggun, muka ku langsung memerah. Hingga kini, aku masih mengenang malam itu. Malam yang tak terlupakan.

Kemudian, waktu seolah berlalu begitu cepat, tatkala kita menjadi semakin akrab dan sering menghabiskan waktu bersama. Nyaris tiada hari tanpa tatap muka denganmu. Aku adalah kau, kau adalah aku. Kita bagaikan mata koin, yang selalu bersama, kecuali jika harus berpisah karena urusan masing-masing. Bahkan di dalam mimpiku pun, aku masih saja sering bertemu dengan mu, seolah tidak rela lama-lama tidak menatap matamu yang indah.

Berlanjut kemudian, saat aku berlutut di depanmu, mengucapkan pertanyaan terpenting yang mungkin pernah kutanyakan. Apakah kau bersedia menjadi istriku ? menjadi ibu dari anak-anakku ? Dan kau pun mengiyakan. Maka, hari itu juga menjadi salah satu hari yang paling membahagiakan untuk aku. Untuk kita. Tentu saja, puncaknya adalah ketika kita mendatangi catatan sipil, mendaftarkan pernikahan kita. Dilanjutkan dengan iringan lagu pernikahan yang megah, ciuman romantis di hadapan para undangan.

Kebahagiaan masih menjadi milik kita, tatkala buah cinta kita yang pertama lahir ke dunia. Dunia pun serasa menjadi milik kita bertiga. Sepulang kerja, aku akan langsung ke rumah, tidak perduli berapa banyaknya ajakan nonton bola bareng, nongkrong, bahkan undangan makan malam atasan. Duniaku ada di rumah kita. Itu saja sudah cukup, tidak perlu lebih.

Namun, masa-masa indah itu ternyata ada akhirnya. Tidak kekal seperti yang kubayangkan. Aku harus merelakan dirimu bersanding dengan yang lain. Walaupun harus melepaskanmu dengan tangisan, bahkan kau sendiri pun menangis. Namun, aku harus kuat untuk merelakanmu, karena itulah yang terbaik untukmu, untuk anak kita kelak. Bukan engkau yang menyelingkuhiku, namun aku lah yang memilih mengusirmu. Tanpa pernah menjelaskan alasan sebenarnya, aku meminta cerai denganmu dan meyakinkanmu untuk menikahi pria lain yang lebih baik dariku.

Baru malam ini kau tahu alasannya. Dengan memberanikan diri, aku mengundangmu di sini, di dalam sebuah ruangan di rumah sakit. Aku tergeletak lemas, tergolek tak berdaya. Aku hanya ingin melihatmu untuk yang terakhir saja. Tidak berani meminta lebih, apalagi memintamu memaafkan aku. Tapi, engkau memang selalu baik hati laksana malaikat. Air matamu jatuh jua ketika suster mengatakan bahwa aku menderita kanker stadium akhir dan sudah kepayahan untuk menyambung nafas.

Tak disangka,kau mengingatkan aku. 10 tahun lalu, tepat di malam ini, adalah malam pertama kita bertemu. Dan malam ini juga akan menjadi malam terakhir kita bertemu. Aku menangis, meminta maaf atas semua keegoisanku selama ini. Aku hanya ingin melihatmu bahagia, tanpa memikirkan perasaanmu. Kau pun ikut menangis, memberikan maaf untukku. Aku pun sudah ikhlas. Semoga kita bertemu kembali di kehidupan mendatang.