Short Story/Cerpen

#442: Menunggu Rina

Terkadang hidup ini memberikan ironi yang tidak masuk akal. Bahkan, para jenius yang paling jenius sekalipun belum tentu bisa menjelaskan fenomena hidup yang aneh ini. Salah satu hal yang absurd itu bernama cinta. Jika kita melihat balapan, yang tercepatlah yang akan menang. Jika kita bermain sepak bola, yang paling banyak mencetak gollah yang akan menang. Namun, tidak demikian dengan yang namanya cinta. Belum tentu yang mengenal cinta lebih dulu yang akan mendapatkannya. Belum tentu yang berusaha paling keras yang mendapatkannya. Dan yang paling mengerikan adalah hal tersebut terjadi padaku.

Beginilah cerita cintaku. Sejak lama aku memendam rasa dengan teman bermainku, Rina. Kami sudah berteman sejak kecil, sejak kami masih belum mengenal apa itu cinta. Wajar saja kami berteman baik, toh kami bertetangga. Rumah kami hanya dipisahkan tembok setebal beberapa centimeter. Kami bersekolah di tempat yang sama, sejak taman kanak-kanak, hingga kami mengenakan toga, meskipun kami masuk ke fakultas yang berbeda.

Panah cinta Cupid mulai menusuk hatiku sejak 5 tahun lalu, ketika kami baru mulai menjadi mahasiswa. Baiklah, aku akan jujur. Sebelumnya, aku memang sudah merasakan getaran kecil ketika menghabiskan waktu bersamanya ketika sekolah kami mengadakan kegiatan kemah dan kami sekelompok di sana. Karena sudah berteman sejak kecil, tentu tidaklah mengherankan bahwa kami menjadi lebih dekat satu sama lain. Tapi, teman-teman tidak semudah itu membiarkan kami berdua. Berbagai siulan, gurauan, dan candaan mengiringi aku dan Rina, yang selalu disebut sebagai pasangan sejak kecil. Aku hanya bisa tertawa kecil saja menanggapinya, sementara dalam hatiku sangat berbunga-bunga.

Hambatan cintaku pertama kali muncul saat Rina didekati oleh senior kami di universitas. Namanya Albert. Kapten tim basket sekolah, salah satu anggota senat mahasiswa, dan beragam kekerenan mahasiswa lainnya yang bisa membuat seorang mahasiswi junior kesengsem. Aku sudah mulai merasa terganggu. Setiap kali aku main ke rumahmu, seperti dulu, kamu pun tetap menerima aku. Namun, perhatianmu tidak lagi tertuju padaku. Lebih banyak ke handphone-mu, yang aku tahu tersimpan banyak SMS dari si kakak senior yang keren itu.

Dasar jiwa remaja masih membara. Aku pun tidak sebegitu relanya menyerahkan Rina untuk Albert. Aku benar-benar memutar otak untuk memutuskan hubungan mereka. Mumpung belum jadian, pikirku. Maka, dimulailah hari-hari dengan penuh pikiran jahat untuk menjauhkan Rina dan calon kekasihnya itu. Setelah berpikir keras, akhirnya aku menemukan cara yang agak gila. Aku tahu bahwa Albert akan mengundang Rina dalam suatu acara sekolah di hari Valentine. Nah, itulah kesempatan emasku. Eureka!!

Tanggal 14 Februari, aku mulai menyiapkan aksi. Nomor handphone palsu sudah siap. Rencana sudah matang. Hey, aku ini remaja cowo, bung! Mana mungkin aku rela pujaan hatiku kau ambil begitu saja. Sebentar lagi, aku akan memulai rencana jahat ini. Sebelum itu, aku masih menyempatkan diri untuk berdoa. Ada dua hal dalam isi doaku. Yang pertama, tentu saja agar Tuhan memaafkan kejahatanku ini. Yang kedua, aku memohon agar aksiku dapat berjalan lancar kali ini.

Jam 6 malam. Aku mengirimkan pesan pendek untuk Albert, memberitahukan bahwa aku, anak junior bernama James, ingin menanyakan ruangan basket untuk latihan sebentar. Aku memintanya menemaniku ke hall basket sebentar. Toh, dia kan kapten tim. Tentu dialah yang paling tahu hall itu. Aku sudah mengetahui sifatnya. Pastilah dia menyanggupi permintaan dari junior. Mungkin dia terlalu baik. Samar-samar aku melihatnya dari jauh, memberikan gerakan kepada Rina untuk menunggunya di sini sebentar saja. Mungkin ini yang diucapkannya,”Sebentar yah. Ada junior yang meminta bantuanku. 15 menit lagi aku kembali”.

Sayangnya, Albert tidak kembali lagi ke pesta itu. Aku menguntitnya hingga ke hall basket. Dan ketika dia memasuki ruangan besar itu, aku tersenyum kecil, mengeluarkan sebuah kunci dari kantongku. Dalam hati pun aku masih sempat meminta maaf. Aku terpaksa melakukannya. Terpaksa atau tidak, aku tidak ingin membicarakannya. Maka, ruangan itupun terkunci, dan terdengar suara teriakan sang kapten basket yang bernada kebingungan, ketakutan, meminta untuk dikeluarkan.

Aku kembali ke pesta dan menemui Rina, tentu dengan wajah tak berdosa. Kutanya, mengapa dia sendirian di sana. Jawabnya, dia sedang menunggu Albert. Tepat di saat aku menanyakan, handphone Rina berdering. Pikirku, itu pastilah SMS dari Albert. Dan benar saja, Rina cemberut seraya menunjukkan isi SMS itu padaku. “Rin, aku terkunci di ruangan basket. Aku sedang mencari bantuan. Tunggu aku yah”. Entah berapa puluh menit terlewati, Albert tidak jua muncul. Rina semakin kesal saja. Dan akhirnya, akulah yang beruntung mendampingi Rina di acara dansa.

Seperti sesuai rencanaku, hubungan Rina dengan Albert setelah peristiwa itu tidak terlalu harmonis. Apakah aku sudah berhasil mendapatkan Rina ? Ternyata masih belum. Karena, masih banyak senior-senior lain yang berdatangan menghampiri Rina, laksana bunga dikelilingi kumbang jantan. Aku pun mulai tersisihkan, hanya menjadi ‘teman baik’ saja. Sinyal “just-friend” itu pun semakin sering ditunjukkan oleh Rina.

Entah sampai kapan lagi aku harus menunggu ? Aku pun tidak tahu. Kelihatannya, aku pun harus segera mengambil keputusan terpenting dalam hidupku,setidaknya untuk saat ini. Apakah merelakan Rina dengan yang lain ? Toh dia sendiri tidak memiliki rasa apa-apa terhadapku. Dan aku pun bisa melanjutkan hidupku dengan mencari gadis idaman lain. Ataukah tetap berjuang merebut hati Rina, dimulai dengan cara menghalangi pria yang mendekatinya ? Ahh, aku masih belum dapat menjawabnya sekarang. Entahlah.

*Post ini disubmit untuk jejakubikel.com dengan tema perjuangan/pengorbanan cinta