Opinion

#403: Selamat Ultah Kemerdekaan RI yang ke 65, Indonesia! Sekelumit Refleksi dan Pemikiran

Tanggal 17 Agustus, bagi warga negara Indonesia, di manapun dia berada, tentu adalah hari yang spesial, karena hari ini adalah hari kemerdekaan, hari ultah yang ke-65 (dihitung sejak kemerdekaan kita, pada tahun 1945). Tentu, sebagai salah satu Indonesians, saya juga tidak lupa mengucapkan selamat hari ulang tahun untuk Indonesia yang ke-65. Namun, pada kesempatan kali ini, saya ingin me-review kembali, apa saja yang sekiranya berkaitan dengan Indonesia sampai ke tahun yang ke-65 ini. Tentunya, semua yang saya tulis di sini merupakan opini pribadi, tanpa adanya kepentingan tertentu, murni pemikiran untuk bangsa kita, yang terlihat sudah tua (untuk ukuran manusia), namun untuk ukuran negara, tentu masih banyak yang lebih buyut daripada kita, seperti Amerika Serikat dll..

Beberapa hal yang ingin saya soroti adalah:

  1. Budaya Indonesia, yang tampaknya semakin lama semakin tergerus oleh budaya asing.
    Hal ini kelihatannya memang belum terlalu mengkhawatirkan, namun fenomena ini tentulah tidak baik jika dibiarkan berlarut-larut. Kita lihat, bangsa-bangsa besar, bahkan negara terkaya di dunia seperti China pun, walaupun terkena pengaruh budaya Barat, namun tetap mencintai budaya mereka sendiri di atas budaya lain. Selain itu, jangan tanya kesetiaan warga Jepang terhadap budaya asli mereka, walaupun dalam film-film terlihat mereka benar-benar mengikuti tren Amerika. Malahan, kita tentu harus setuju bahwa budaya China dan Jepang sendiri sudah menyebar ke seluruh dunia. China dengan china town dan chinese food yang rasa-rasanya hampir dapat ditemukan di berbagai belahan dunia. Jepang dengan japanese food, anime, manga, sony playstation, dll yang juga menuju level dunia. Lantas, Indonesia yang terkenal (dulunya) sebagai negara besar ini, akan dibawa ke mana ? Pertanyaan ini tentu harus kita tanyakan kepada Bapak-bapak pemimpin bangsa ini. Karena arah dari negara ini tentu tidak lepas dari setiap kebijakan yang mereka ambil. Tentu, sebelum mengetahui arah tujuan negara ini, haruslah ditentukan identitas bangsa yang sejati, yang membuat bangsa lain segan kepada kita.  Jika China identik dengan kerja keras, Jepang identik dengan gila kerja dan high tech, Amerika terkenal dengan semangat demokrasinya, lantas apakah yang dikenang dari Indonesia saat ini ? kita seringkali menganggap bangsa kita bangsa yang gotong royong dan ramah, namun, dengan banyaknya peristiwa kericuhan pilkada, kerusuhan antar etnis, apakah masih layak kita menyebut diri kita ramah ? tentu harus kita kaji lagi, apakah kita yang akan mengubah sikap kita sehingga dapat menjadi ramah bagi siapapun, atau image kita yang berubah dari ramah menjadi ‘senang berbuat onar’.
  2. Anak-anak Indonesia ‘lebih cepat dewasa’ daripada zaman saya dulu.
    Opini saya ini sebenarnya berdasarkan dari hal yang sangat-sangat sepele, yaitu fenomena di mana anak-anak (seumuran dengan anak SD) saat ini sudah mulai menonton sinetron yang menurut saya untuk orang dewasa, dan menyanyikan lagu-lagu percintaan, yang menurut saya, bukan saat yang tepat bagi anak SD untuk menyanyikan cinta (saya rasa, mereka sendiri kurang paham apa artinya cinta mungkin).. Sewaktu saya SD dulu, tontonan saya paling banyak adalah kartun atau seri semacam Power Ranger dan sebagainya, dan saya masih ingat sering sekali beli kaset lagu anak-anak, seperti Lumba-lumba, lagu-lagu kartun Saint Seiya, dsb. Namun, sekarang ini, coba anda lihat, bahkan anak-anak kecil pada sebuah kontes menyanyi saja, hampir semuanya menyanyikan lagu orang dewasa dan bertemakan cinta. Menurut saya pribadi, hal ini kurang baik bagi perkembangan anak-anak, karena mereka cenderung lebih cepat ‘dewasa’ sebelum waktu yang seharusnya. Kalau tidak salah ingat, artikel di detik.com menyatakan bahwa usia pubertas untuk putri saat ini adalah 8-9 tahun, di mana dulu saya diajarkan di pelajaran Biologi bahwa usia rata-rata pubertas adalah 12-14. Sedikit banyak, paparan hal-hal dewasa seperti percintaan dll tentu merangsang hormon pubertas sebelum waktunya. Maka, sebaiknya dipertimbangkan lagi penyediaan materi yang baik dan memadai untuk anak-anak, sehingga perkembangan mereka bisa lebih maksimal lagi.
  3. Budaya Instan
    Saat ini, menurut saya, budaya instan cukup nge-tren di Indonesia. Contoh paling mudah, tentu menjamurnya kontes-kontes yang menjanjikan ketenaran instan bagi pemenangnya. Salahkah hal tersebut ? tentu tidak sepenuhnya salah, karena menurut saya pun, kontes-kontes tersebut bisa dijadikan wadah untuk mencari bakat yang mungkin selama ini terpendam. Namun, jika kita lihat di bidang lain, seperti sepak bola, maka hal ini jadi terlihat mencolok, di mana tim-tim lebih senang membeli pemain ‘jadi’, alias pemain yang sudah matang, (baik lokal maupun asing) dibandingkan dengan mereka harus membina pemain-pemain muda (yang ujung-ujungnya juga untuk pembinaan tim nasional Indonesia). Timnas kita pun tidak luput dari hal tersebut. Bukannya membenahi pembinaan jangka panjang, ketua umum PSSI lebih senang bongkar pasang pelatih, dengan harapan pelatih tersebut dapat membawa juara (yang sayangnya sudah tidak pernah kita dapatkan lagi, dalam kurun waktu 8 tahunan terakhir ini). Tidak ada yg salah dengan mengganti pelatih, jikalau memang pelatihnya yang salah. Namun, pelatih yang melatih Indonesia, menurut saya juga bukan pelatih kacangan. Mereka perlu diberi kesempatan yang lebih panjang lagi. Bayangkan saja, tim nasional adalh tim yang jumlah latihannya saja dapat dihitung dengan jari dalam setahun. Tentu saja kekompakan tim sangat berbeda dengan tim untuk liga, yang latihan hampir setiap hari. Jika ada yang bertanya, kenapa tim nasional Brazil atau Spanyol jauh lebih hebat, maka ini adalah faktor pemain, karena menurut saya pemain profesional lebih mudah beradaptasi terhadap tim dan strategi pelatih manapun, karena mereka memang sudah terbiasa dengan tugasnya di lapangan. *Bahkan di tim inti Spanyol, hampir separohnya merupakan pemain Barcelona, tidak heran jika tim ini sangat ciamik dan kompak belakangan ini* Maka, jika berharap juara akan datang HANYA dengan mengganti pelatih (dengan pelatih asing yg lebih mahal), maka saya rasa ini adalah pandangan yang salah besar.
  4. Beban Berlebihan kepada Anak-anak
    Saya memiliki beberapa keponakan yang masih kecil, dan terkadang, saya merasa agak kasihan sama mereka. kenapa ? menurut saya, anak Indonesia semakin hari cenderung merasakan beban yang lebih berat ketimbang generasi sebelum-sebelumnya. Sebagai contoh sederhana saja, anak zaman sekarang hidupnya dipenuhi dengan berbagai les (dengan alasan untuk menambah kemampuan anak). Berbeda jauh dengan zaman saya, di mana rasanya hidup sangat santai dan tidak ada beban kecuali ada ulangan. Saya dapat mengatakan bahwa anak zaman sekarang rasa-rasanya jauh lebih sibuk dari saya lho (padahal saya mahasiswa). Tapi, mungkin karena mereka sudah terbiasa, sehingga mereka tidak mengeluh. Seandainya saya yang disuruh menjalani hidup seperti mereka, tentu saya sudah mengeluh he-he-he.. Mungkin, saya rasa, adalah niat baik orang tua untuk menanamkan berbagai ilmu dan ketrampilan pada anak sedini mungkin, sebagai bekal untuk menghadapi tantangan yang semakin berat, namun harus disadari bahwa anak kecil lebih membutuhkan waktu untuk bermain dan belajar, ketimbang belajar dan belajar terus menerus. Intinya, lakukanlah sesuai porsi dan waktunya, sayangilah anak anda dan jangan lupakan bahwa kewajiban utama seorang anak kecil adalah bermain.. hehe..
  5. Kurang Bisa Menerima Kekalahan dan Kesalahan Orang lain
    Untuk  poin ini, mudah saja menangkap fenomenanya, yaitu dari pilkada yang sudah semakin sering ditemui di Indonesia. Untuk pilkada yang berlangsung seru (dan persaingan sangat ketat), saya rasa hampir selalu diakhiri dengan gugatan ke pengadilan, (tentu dengan berbagai bukti kecurangan yang dilakukan oleh pasangan kompetitornya) dan meminta perhitungan ulang. Memang hal yang tepat untuk melaporkan kecurangan tersebut, namun setidaknya, harus disadari jika kalah, maka yang harus dilakukan adalah sportif dan mengakui kekalahannya, bukannya terus-terusan ngedumel dan mempermasalahkan hal yang sudah lewat. Selain itu, fenomena berikutnya terkadang dari lapangan hijau atau sepak bola. Tim di Indonesia dengan mudahnya melakukan aksi mogok main, hanya karena menurut mereka keputusan wasit berat sebelah. Apakah anda masih ingat peristiwa dianulirnya gol Lampard di Piala Dunia, ketika pertandingan Inggris vs Jerman. Lalu, apakah timnas Inggris melakukan aksi mogok main ? jawabannya adalah tidak. Bahkan protes yang terlalu berlebihan (di mana pemain Indonesia saja seringkali sampai membentak dan mendorong-dorong wasit) pun tidak mereka lakukan. Kenapa ? karena mereka sadar, bahwa wasit juga manusia. Kalau mata wasit sanggup dengan jeli mengawasi ke-22 pemain dan semua inci dari lapangan, maka pantaslah jika mereka marah. Namun, mata wasit juga sama seperti kita semua. Anda layak marah hingga mogok main, jika wasit mengesahkan gol yang jelas-jelas dimasukkan dengan tangan. Namun, kalau hanya sekedar perasaan anda dicurangi wasit, saya kira, anda perlu belajar lebih lapang dada dan legawa terhadap human error. Wasit bukan malaikat, bung!.

5 poin di atas terasa sebagai keluhan saja, namun jangan lupa bahwa bangsa kita ini masih bangsa yang berkembang, yang menandakan bahwa kita sedang berada di dalam proses menuju tahap yang lebih baik, tentu kalau bisa menjadi negara yang maju dan sejajar dengan Amerika Serikat, Cina, dan negara maju lainnya. Oleh karena itu, terhadap keluhan-keluhan seperti di atas, hendaknya jangan dipandang sebagai hal yang negatif, namun merupakan lecutan untuk berbuat yang lebih baik lagi, karena menurut saya, masih lebih beruntung orang yang menyadari bahwa dirinya salah, ketimbang orang yang tidak menyadari kalau dirinya salah jalan (dan ironisnya merasa benar).

Hendaknya momentum 17 Agustus ini dijadikan semangat perubahan, untuk menjadi Indonesia yang semakin baik, semakin maju, dan semakin berkembang dari 64 taun sebelumnya.