Paling Mudah vs Paling Murah : Sebuah Praktik Competitive Advantage?
Untuk mengisi liburan kali ini, salah satu buku yang pengen dibaca (kalau sempat) adalah ‘Marketing in Challenging Times’ oleh salah satu pakar marketing Indonesia (dan dunia), Hermawan Kartajaya (selanjutnya saya singkat sebagai Pak HK saja ya). Kenapa buku ini menarik buat saya? Karena waktu membaca ringkasan di cover belakangnya, saya menjumpai sekitar 16 studi kasus yang kesemuanya membahas tentang Digital Startup di Indonesia yang memang sedang booming. Karena baru baca beberapa bab di depan, maka nanti apa yang berhasil saya dapatkan dari studi-studi tersebut akan saya tulis di posting lainnya (tentu kalau tidak malas, karena terakhir mengupdate blog ini adalah 8 bulan lalu 🙂 )
Karena baru awal-awal membaca buku ini, maka saya baru sampai di penjelasan HK tentang siapa yang belakangan berperan besar dalam buying decision dan siapa yang harus dituju oleh para pemasar. Beliau menyebutnya dengan YWN -> Youth (kaum muda), Women (ibu-ibu yang semakin modern dan pada umumnya menjadi CFO dari sebuah keluarga), serta Netizen (mereka yang aktif sekali di Internet). Sekali lagi, posting penjelasan tentang YWN ini akan saya bahas di posting lain lagi hehe.
Satu kalimat yang menggelitik saya di bagian Youth adalah:
“Selain itu, kalangan muda saat ini benar-benar memanfaatkan solusi apa pun yang memungkinkan mereka mendapatkan produk terbaik dengan lebih cepat dan mudah (perlu dicatat: mudah, bukan murah). Untuk itu, mereka cenderung menggunakan suatu produk yang menyediakan persyaratan mudah dan memberikan benefit cukup tinggi untuk mendekatkan dengan tujuan akhir, yakni menjadi pribadi yang mapan.
Mengapa hal ini menarik, karena menurut pemikiran saya, mungkin ini adalah bentuk aplikasi nyata competitive advantage sehari-hari. Tentu banyak faktor yang mungkin melatar-belakangi keputusan mengambil yang paling mudah tersebut (contoh: malas). Tapi kali ini saya coba ambil positive-side-nya saja. Hal ini juga dalam pandangan saya agak berbeda dengan generasi-generasi di atas saya (saya generasi tahun 90an sih), yang selalu melihat ‘murahnya’ yang mana.
Contoh paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari adalah: cuci baju dan masak. Misalkan, ada 2 orang designer berskill tinggi memiliki penghasilan Rp 50.000/jam (saya konversikan ke jam supaya lebih terlihat saja perbandingannya, tapi ini fiktif saja sih). Perbedaannya adalah, yang satu (sebutlah designer A) memilih ‘berhemat’ dan mengerjakan semuanya sendiri. Cuci baju sendiri mulai dari milah-milah baju, masukin ke mesin cuci, isi sabun dll, hingga mengeringkan/menjemur, sampai disetrika (gini-gini saya bisa juga lho pakai mesin cuci sampai setrika).
Katakanlah setelah ditotal-total, waktu yg diperlukan semuanya adalah 2 jam. Dengan demikian, dia mengalami ‘potential loss’ Rp 100.000 karena 2 jam-nya terpakai untuk mencuci baju. Belum lagi pengeluaran untuk air, listrik, sabun dll. Anggap saja semurah-murahnya biaya cucinya adalah 10.000. Maka opportunity cost untuk mencuci baju bagi Designer A adalah Rp 110.000.
Designer B, katakan saja adalah seorang pemalas (saya cenderung bertipe ini sih :p ). Lebih memilih untuk masukin baju ke laundry yang kiloan. Mungkin waktu yang diperlukan untuk antar-ambil baju-nya ke Laundry adalah 1 jam. Ongkos mencuci-nya sendiri Rp 15.000 (cuci kiloan memang murah banget sih). Ongkos bensin, yahh Rp 10.000 lah ya naik motor. Maka, kalau dihitung-hitung, opportunity costnya adalah Rp 50.000 + Rp 15.000 + Rp 10.000… RP 75.000. Ternyata, dalam kasus ini, kemungkinan cara mudah yang dipilih oleh designer B justru memiliki efek samping lebih murah, walaupun sebenarnya terlihat dia cuma cari gampangnya aja.
Demikian juga halnya dengan masak. Hitung saja jika designer A harus masak, mulai dari beli bahan, bermacet-macet ria ke supermarket/pasar, menyiapkan makanan dll hingga makan. Sementara designer B lebih ‘mahal’ dengan kateringan, tapi tinggal makan saja tanpa repot.
Prinsip inilah yang sebenarnya disebut dengan competitive advantage, di mana kita memilih untuk melakukan hal yang terbaik yang dapat kita lakukan dan kita dapat mendelegasikan tugas lainnya ke orang yang memang lebih baik dari kita dan bisa menekan biaya juga. Jangan lupa, uang hanyalah sebagian dari resource yang kita punya. Ada resource yang tidak kalah penting, yaitu waktu.
Kebanyakan mereka yang memilih jalan paling mudah adalah mereka yang lebih menghargai waktu (atau kurang sabaran ya?), karena mereka mengganggap dengan waktu yang sama, mereka dapat mengerjakan lebih baik lagi hal-hal yang mereka senangi ketimbang mengerjakan daily chores, walaupun waktu libur lebaran seperti ini, kita semua akan mengalami ‘hal-hal yang menyenangkan’, yaitu bersih-bersih rumah sendiri hehe. Untuk orang-orang yang ingin mudah, jawabannya gampang. Pergi saja berlibur atau staycation di dalam kota, tapi menginap di hotel. Tidak perlu repot-repot membersihkan rumah setiap hari, mendapatkan fasilitas yang banyak dan nyaman. Namun, tentu saja memilih paling mudah dan paling murah ini dipengaruhi juga oleh banyak faktor sih.
Dalam praktik yang lebih luas, saya sering menyoroti kenapa negara kita pengen sekali swasembada sembarang kalir ya, termasuk hal-hal yang sudah nyata kita lebih baik meng-impor daripada mengusahakan sendiri dan gagal setiap tahun. Memang ada kalanya itu berkaitan dengan kepentingan strategis. Namun, seperti kasus impor sapi, apakah memang kalau kita nda makan sapi sama sekali karena mahal, bangsa ini mendadak jadi turun produktivitasnya? Lalu seperti kedelai (kalau saya ngga salah) yang sebenarnya adalah tanaman subtropis. Tentu saja ga maksimal kalau ditanam di sini. Tapi kenapa tiap tahun yang diributkan adalah swa sembada kedelai? Ya karena di sini, tahu dan tempe sudah menjadi makanan wajib dan ‘murah’ selama ini, walaupun kedelai yang digunakan mayoritas adalah kedelai impor. Karena nilai tukar Rupiah melemah dan produksi global yang mungkin berkurang, maka makanan rakyat yang ternyata adalah ‘makanan mahal/import’ ini juga harus ikutan naik harganya. Lha wong jelas-jelas kita ini adalah negara tropis kan.
Menurutku, akan lebih baik kalau kita mengeksploitasi (baca: memanfaatkan sebaik-baiknya) keunggulan kita sebagai negara tropis. Kembangkanlah pertanian atau perkebunan tropis yang membuat negara lain itu iri dengan kita. Contoh: buah tropis yang beraneka ragam. Lalu kita ekspor buah-buah tersebut dan hasilnya dibelikan (impor) sapi atau kedelai tadi. Tidak perlu kita mekso swasembada semuanya. Masak kita sebagai individu juga mau mekso harus bisa bikin baju sendiri dari benang, sementara baju impor dari Bangkok aja harganya bisa lebih murah daripada 1 burger Car’s Jr? Oleh karena kita hidup di era yang hyper-connected, kita harus tahu dengan jelas potensi terbesar dari diri kita apa, dan apa added value yang bisa kita berikan kepada orang lain sehingga kita bisa memperoleh resources yang kita butuhkan (dalam bentuk uang maupun barang/jasa).
Well, cuma pemikiran di sore hari aja sih, dan sebuah upaya untuk tetap nulis minimal sekali setahun dalam blog ini #eh… Mumpung libur, kalau bisa mau nulis sekali sehari dengan topic yang random 🙂
Selamat berlibur (word countnya pas 1.000)