Books Review

Review Buku : Mulai Mengerti

Buat follower-follower IG-nya ko Edward Suhadi, tentu isi buku Mulai Mengerti ini mungkin akan menimbulkan Deja Vu waktu membacanya. Karena memang isi dari buku ini adalah kompilasi tulisan-tulisan pendek yang sudah pernah ditulis Ko Edward di postingan IG-nya. Dan sejak ko Edward ngumumin kalau dia akan nerbitin buku ini, aku sendiri juga penasaran sih, kira-kira apa saja ya isinya yang bakalan disertakan. Jadi ketika sudah menerima buku fisiknya (dan aku beli 3, yang 2 rencananya akan aku taruh di kantor 1 dan dikasihkan ke teman 1, karena aku percaya isi buku ini pasti bagus), beberapa hal dari post yang kuingat-ingat sudah tercantum di sana. Tentu saja, yang aku ingat ini, adalah post yang aku rasa paling relevan dengan kondisiku yah. Jadi untuk beberapa post lain yang rasa-rasanya sudah aku baca juga sebelumnya, aku tidak terlalu ingat, karena memang mungkin aku membacanya juga sambil lalu.

Buku ini juga diikuti dengan workshop menulis dari Ko Edward, yang awalnya hanya di Jakarta, lalu berkembang menjadi beberapa kota besar, seperti Bandung (tgl 25 Februari, ketika aku menuliskan post ini), dan Surabaya (kalau tidak salah, tgl 25 Maret). Dan aku lumayan ‘terkejut’ juga, ternyata banyak juga peminatnya yah, karena Ko Edward sampai harus menambahkan kuota di batch pertama. Padahal itu weekend loh, dan hari H-1 sebelum Libur Imlek.

Aku jadi ingat, dulu kalau orang bilang/membahas ‘menulis’ itu rasanya aneh sekali ya. Bagaikan sastrawan gitu. Aku sendiri dulu suka dengan dunia literasi. Tahun 2010, sendirian ke Ubud untuk ikut UWRF 2010, sempat foto dengan Dewi Lestari, dll. Ikut 3 workshop on-site juga yang mentor-mentornya adalah orang asing/foreigner. Lalu, di tahun 2011, ketika aku mengambil sekolah bahasa 1 tahun di Beijing, aku juga ikut kelas menulis novel online dari Plot Point, dengan gurunya Clara Ng. Walaupun pada akhirnya 5 teman kelasku yang lain berhasil berkolaborasi dan menerbitkan novel mereka, akhirnya aku hanya lanjut menulis tesis (untuk S2ku), dan nulis coding tentunya hahaha. Impian menulis fiksi lama-lama lenyap juga.

Tapi sekarang jaman sudah beda. Copywriting menjadi hal yang menarik, dan sudah banyak orang yang tidak mengasosiasikan menulis = sastrawan. Menulis menjadi media untuk terapi juga (contoh: Jurnaling), atau malah jadi sumber penghasilan (content creator, dll). Jadi aku ikut senang kalau sekarang kata-kata ‘menulis’ sudah menjadi lebih awam, ngga dilihat antik lagi seperti 10-an tahun lalu. Apalagi di workshop ini, Ko Edward mengedepankan bahwa menulis itu gunanya lebih ke mengenali diri sendiri. Mungkin menurutku lebih untuk mengurai benang-benang kusut di kepala ya. Karena sejak 2022 aku juga rutin menuliskan jurnal harian (walaupun banyak bolongnya). Dan itu membantu juga untuk mengeluarkan beban-beban yang terpendam di kepala.

Jadi, aku lumayan bersyukur juga, ternyata buku ini yang bisa membuat aku menulis di blog ini lagi 🙂

Btw, kembali ke isi bukunya, aku mau menuliskan beberapa bab yang menurutku penting (minimal untuk aku sendiri) saja.

Musim Tabur Beda dengan Musim Tuai

Pada post ini, Ko Edward bercerita tentang pengalaman ketika tim Ceritera mau membelikan hadiah ulang tahun Ko Edward, dan ada satu anak baru yang melihat-lihat sepatu idamannya, sambil beberapa kali meletakkan kembali sepatunya. Ko Edward sempat ingin membelikan, namun dia urung. Bukan karena pelit/tidak mau, namun Ko Edward jadi ingat, bahwa semua hal itu ada masanya. Ya, bagi Ko Edward, sepatu berharga mahal tersebut mungkin tidak terasa memberatkan. Namun, bagi anak baru ini, bisa jadi sepatu harga segitu itu sama dengan separuh gajinya (well, ya karena aku g tahu harga sepatu dan gajinya ya hehe), atau dalam jumlah yang membuat dia pikir-pikir seribu kali untuk beli.

Kita juga seringkali membandingkan diri kita dengan orang lain, tanpa sadar bahwa masing-masing dari kita ada di fase yang berbeda. Contohnya, ketika kita baru mulai berkarya, berbisnis, benchmark kita selalu tertuju pada market leader, atau setidaknya orang yang kita kagumi. Dan kita jadi membayangkan yang indah-indahnya aja. Fee senilai X ratus juta per project. Honor senilai X juta per jam. Kerjanya hanya beberapa menit, tapi dapetnya puluhan juta. Tanpa sadar, kita jadi ikut merasa ‘oh kerjanya cuman segitu kok. Aku juga bisa. Tapi, harus diingat bahwa karya / bisnis itu tidak melulu hanya hal teknis. Produk maupun alat yang kita jual, mungkin bisa saja kita tiru/duplikasi. Tapi kalau berbicara pengalaman, expertise yang sudah dilakukan bertahun-tahun, itu sudah dimensi lain yang non-tangible.

Coba diingat-ingat lagi, kita seringkali memilih ke dokter yang sudah ramai. Antri periksa saja bisa berjam-jam. Diperiksanya sebentar. Bayarnya mahal. Tapi kenapa kita tetap mau ke sana? Karena kita (biasanya) mendapat rekomendasi dari orang yang sudah sembuh ke sana. Dan jangan lupa, dalam konteks skill, semakin mahir orang, biasanya waktu yang diperlukan juga semakin sedikit loh. Jadi, sebenarnya agak kurang relevan kalau kita ngomong ‘kerjanya cuman sebentar tapi kok mahal’. Karena yang membuat mereka bisa menyelesaikan masalah dengan cepat itu ya hasil kerja keras dan pengalaman bertahun-tahun.

Jadi, bagi yang masih berjuang (termasuk aku), kita semua memiliki masa tuai atau ‘kejayaan’  yang berbeda-beda, satu dengan yang lain. Melihat orang lain sebagai benchmark, tentu boleh-boleh saja. Tapi kalau kita masih ada di musim tabur, tentu tidak perlu memaksakan diri dengan mengikuti lifestyle mereka yang sudah di musim tuai. Bisa stress sendiri loh nanti. Dan kita juga tidak usah ‘meremehkan’ orang lain, karena bisa jadi apa yang kita anggap mudah saat ini, masih menjadi musim tabur bagi mereka. Kita sendiri tidak pernah tahu kan, kapan kita membutuhkan bantuan orang lain. Siapa tahu ada kondisi yang terbalik, di mana kita memasuki musim tabur yang baru, dan membutuhkan bantuan orang lain yang sudah ada di musim tuai 🙂

Tips Menangani Stress (Ada 3 Artikel)

Post ini muncul ketika aku sedang stress-stressnya tahun lalu kalau tidak salah. Setelah aku membaca, aku jadi mikir ‘Wow, Ko Edward yang clientnya sudah selevel Tokopedia aja bisa stress ya. Padahal kelihatannya sangat enjoy dengan kerjaannya, sering gowes, hasil karyanya juga oke-oke banget’. Jadi, stress (atau tekanan pekerjaan) ternyata juga bisa dialami oleh siapapun, terlepas dari level/pengalamannya dia juga yah.

Nah, tips dari Ko Edward adalah,

  • Untuk Diri Sendiri – selalu hadapi masalah dengan mindset bahwa ini untuk memperbesar kapasitas kita sendiri, bukan orang lain. Seringkali kita mikir, kita yang terpaksa stress, tapi orang lain mungkin yang mendapatkan hasil/reputasinya. Akhirnya kita jadi cenderung malas untuk ‘memaksa’ diri kita memberikan yang terbaik, karena merasa tidak ada untungnya. Well, cobalah melihat masalah sebagai tantangan dan kesempatan untuk belajar bagi diri sendiri. Perkara ada orang yang mendapatkan side-effectnya, itu sudah di luar kontrol kita.
  • Kalahkan ketakutan dengan persiapan – sebagai mepeters dan deadliners, artikel ini sangat relevan. Karena sampai sekarang pun aku selalu menunggu sampai mepet-mepet sampai stress, dan akhirnya selesai juga, tapi dengan perasaan tidak nyaman. Gimana caraku mengakali sedikit? (karena aku tetap jadi deadliners sih sampai skrg). Aku mengambil persiapan yang lebih panjang. Jadi dalam konteks kerjaanku sebagai programmer. Misalkan aku punya deadline 5 hari lagi. Aku punya tendensi untuk kerja H-1 atau H-2. Tapi sekarang aku akan mulai menulis masalah/task list yang mau diselesaikan H-4 nya dulu di kertas, dan kira-kira step apa yang harus aku ambil. Jadi, ketika H-2 itu datang, aku ngga bener-bener blank seperti dulu, dan aku sudah ngga terlalu panik lagi, karena aku tahu, walaupun mepet, aku sudah tahu aku harus ngapain aja.
  • Definitely Okay – Bahwa meskipun kita sudah memberikan yang terbaik, hasil itu selalu berada di luar kontrol kita. Dan pekerjaan itu tidak mendefinisikan diri kita. Maka, kalaupun kita mendapat hasil yang kurang memuaskan, selalu ada kesempatan berikutnya untuk kita memperbaiki. Selama kita memang sudah berusaha semaksimal mungkin yah. Kalau usahanya minimal sih, yaa jangan heran lah kalau hasilnya juga gitu-gitu aja.

Bahagia atas Bahagia Orang Lain

Ketika membaca post ini, aku langsung teringat 1 slogan yang menggelitik dari iklan rokok jaman dulu “Susah lihat orang senang. Senang lihat orang susah”. Hal yang menurutku sangat gampang untuk dilakukan sekarang di era sosmed. Tidak percaya? Coba lihat postingan dari selebgram-selebgram, terutama kalau lagi menunjukkan hal yang menggembirakan (atau pamer). Pasti ada saja orang yang julid kan, mau sebaik apapun selebgram itu. Pasti ada yang nyeletuk ‘tapi kan …’ , ‘ya kamu enak …’, ‘semoga kamu ngga …. ‘. Aku sendiri hampir g pernah komen di sosmed sih, cuman memang ada aja kadang iri-irinya ke orang lain gitu yah hehe.

Nah, melalui post ini, Ko Edward pengen nyampaikan, coba deh kita bisa ikut seneng kalau lihat orang lain senang juga. Toh ngga ada salahnya juga kan, kalau kita ikut happy, liat orang lain happy juga. Dan kalo disambung-sambungin sama Law of Attraction, kalau kita happy, tentu perasaan kita jadi lebih baik, dan kalau sekarang sih orang ngomongnya ‘Good Vibes’ gitu ya 🙂 alhasil bisa jadi lebih banyak lagi kebahagiaan yang mampir ke kita.

 

Dari banyaknya artikel pendek yang ada di buku ini, mungkin 3 itu saja sih, yang aku tulis di Blog ini karena itu yang paling ‘nyes’ buat aku ya. Yang lain, bisa dibaca sendiri saja di bukunya kalau penasaran. Atau kalau mau yang instan dan gratis, bisa tuh scroll postingannya ko Edward dari yang terbaru sampai yang paling lama hehe.

 

Thank you  Ko Edward, karena buku ini, aku jadi nulis blogpost lagi, setelah hampir 5 tahun vakum 🙂