Books Review

Review Buku : Dream Big Make an Impact

Buku Dream Big Make an Impact merupakan kompilasi dari berbagai entrepreneur di Indonesia yang menginspirasi serta mayoritas pernah diundang ke beberapa acara offline maupun TV Show, seperti Ideafest, Big Bang, serta Big Circle yang di mana kesemuanya memiliki kesamaan, yaitu melibatkan Andy F. Noya sebagai host maupun konseptor. Disebut menginspirasi karena selain memikirkan sisi bisnis, mereka juga turut memberdayakan masyarakat lain. Bisnis atau kewirausahaan yang semacam ini seringkali disebut dengan Social Entrepeneurship, yakni kewirausahaan yang memiliki kontribusi sosial bagi masyarakat yang berhubungan langsung dengan bisnis ini.

Ide dasar dari terciptanya buku ini adalah fakta yang ditemui oleh Bang Andy bahwa generasi millenials saat ini, seperti dikeluhkan oleh temannya yang adalah seorang manajer HRD di sebuah perusahaan mapan, sangat suka dengan hal yang berbau entrepreneur dan merupakan risk-taker. Meskipun belum ada jaminan bahwa bisnis yang dijalankan akan berhasil, mereka lebih memilih berusaha melakukan hal yang disukai ketimbang memilih hal yang (mungkin) membosankan, tapi lebih memberi kepastian, seperti dalam hal penghasilan.

Hal ini secara tidak langsung turut melahirkan berbagai macam festival dan acara yang mengangkat tema kewirausahaan. Namun, mengingat daerah Indonesia yang sangat luas, sementara kebanyakan dari acara tersebut hanya berada di Pulau Jawa saja, maka Bang Andy memikirkan, bagaimana cara agar semangat kewirausahaan, terutama socio-entrepreneurship dapat menyebar dengan lebih cepat lagi. Oleh karena itu, media yang dipilih adalah media buku yang dituangkan dalam buku ini.

Beberapa nama dalam nama ini sudah sering saya baca dan familiar melalui berbagai majalah dan publikasi, sementara banyak juga nama lain yang ternyata tidak kalah inspiratif, hanya saja mungkin selama ini lebih memilih untuk tidak terekspose. Berikut merupakan list dari nama inspirator yang diceritakan dalam buku ini:

  • Lenny Agustin, seorang fashion designer, yang memiliki visi untuk melestarikan berbagai ciri khas budaya di Indonesia. Dia berkeliling nusantara dan terus mempelajari berbagai macam keunikan kain asli Indonesia, serta tidak lupa memberikan aksi sosialnya, yaitu mendidik penenun untuk memiliki kemampuan yang lebih baik sehingga hasil karya penenun dapat menjadi lebih bernilai dan pada akhirnya dapat meningkatkan nilai jual dari kain tsb.
  • Egar Putra Bahtera, owner dari brand Chevalier, produk sepatu berbahan kulit. Egar menerapkan beberapa kebijakan, seperti penetapan standard upah pegawai yang mencapai 2x UMR, menerapkan fair trade system dengan penjual bahan baku, serta mengadakan program peduli dunia pendidikan dengan memberikan seragam sekolah untuk anak-anak di Jawa Barat.
  • Restu Anggraini, desainer busana muslim dengan brand Restu Anggraini dan ETU. Restu memilih bahan ramah lingkungan sebagai upaya untuk mencapai sustainable fashion, di mana hampir 80% koleksinya menggunakan bahan ramah lingkungan yang bisa terurai 100% oleh alam, serta menerapkan zero waste, yakni menggunakan bahan sisa produksi untuk diproses menjadi hal lain. Selain itu, dia juga menerapkan prinsip Ethical Fashion, yakni menyediakan tunjangan sebesar 2x UMR, menyediakan asrama karyawan, tidak ada sistem overtime, menyediakan program magang untuk siswa SMP dan SMK, serta tidak mempekerjakan karyawan di bawah umur.
  • Dynand Fariz, founder dari Jember Fashion Carnival. Menginjak tahun ke-16 pelaksanaan Jember Fashion Carnaval (JFC), Dynand berhasil mengembangkan acara ini dari yang semula hanya acara lokal untuk menampilkan kreativitas masyarakat lokal, hingga menjadi acara peringkat ke-3 dunia untuk penyelenggaraan karnaval. Tidak hanya sukses menyelenggarakan karnaval, Dynand juga secara langsung turut mengangkat budaya lokal di Jember, serta menggerakkan roda perekonomian dan mendorong Jember menjadi salah satu destinasi wisata.
  • Tirta Mandira Hudhi, owner dari Shoes and Care. Diawali dari keinginan untuk merintis bisnis untuk mendukung kehidupan sehari-hari sebagai mahasiswa kedokteran, Tirta justru lebih dikenal sebagai dokter sepatu. Saat ini, Shoes & Care yang menyediakan layanan membersihkan sepatu sudah tersebar di berbagai kota besar. Sebagian besar dari karyawan yang direkrut oleh Tirta adalah anak-anak jalanan, putus sekolah, korban PHK dan pengangguran. Selain itu, Tirta juga memfokuskan usahanya di bidang membersihkan sepatu, tanpa membuka jasa jahit sol sepatu. Hal ini, diungkapkan oleh Tirta, karena dia tidak mau mengambil lahan pekerjaan jasa sol sepatu.
  • Pieter Tan, Owner Kopi Wamena. Berangkat dari keluarga yang memiliki bisnis kopi komersial Robusta, Pieter justru tertarik untuk memasarkan kopi khas dari tanah Papua, yakni kopi Wamena. Pieter langsung mengunjungi petani kopi di Wamena dan menjumpai fakta bahwa kopi Wamena hanya dapat dipanen sekali dalam setahun dan punya harga jual yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari harga gula pasir. Untuk membantu petani tersebut, Pieter berani membeli hasil panen kopi hingga 5x lipat lebih tinggi dari harga pasar. Selain itu, Pieter juga berkomitmen untuk mengajari cara menanam, merawat, hingga memanen kopi sehingga kualitas panen kopi Wamena pun meningkat. Tidak berhenti di petani saja, Pieter juga membuka sekolah barista untuk anak-anak petani sehingga diharapkan mereka dapat tetap memproduksi dan melestarikan kopi Wamena melanjutkan pertanian orang tua mereka.
  • Vania Santoso, Owner dari Heystartic. Heystartic merupakan produk kreatif yang berbahan baku bahan bekas, mayoritas adalah sak semen. Vania sendiri sudah menaruh perhatian besar pada isu lingkungan sejak masih bersekolah. Pada acara Volvo Adventure tahun 2007, Vania berhasil memenangi lomba tersebut dan memperoleh modal untuk mengembangkan bisnis sosialnya, yaitu mengubah sak semen menjadi produk eco-fashion yang memiliki nilai jual. Ketika ditanyakan mengapa menggunakan bahan sak semen, Vania menjawab bahwa selama ada pembangunan, maka jumlah sak semen tak terpakai akan terus bertambah, sehingga mengakibatkan sampah bagi lingkungan. Dengan mengubahnya menjadi produk yang bernilai guna, maka sampah tersebut akan menjadi hal yang lebih produktif.
  • Ronaldiaz Hartantyo, Robbi Zidna Ilman, Adi Reza Nugroho, Annisa Wibi Ismarlanti, founder dari Growbox. Meskipun background mereka berempat tidak berhubungan dengan jamur, namun mereka memiliki konsep untuk mengedukasi masyarakat perkotaan untu mengetahui asal muasal makanan yang mereka makan, dalam hal ini adalah Jamur. Mereka mengemas bibit jamur dan media tanam dalam konsep yang menarik, yaitu sebuah box dengan media tanam jamur, yang nantinya dapat dipanen oleh pengguna sendiri. Tagline Growbox sendiri adalah ‘Grow Your Own Food’, di mana mereka mengajak pengguna untuk menanam makanan mereka sendiri. Pada perkembangannya, mereka tidak hanya berhenti di Growbox saja, karena saat ini mereka sedang mengaplikasikan ilmu formal mereka (Arsitektur) dengan meneliti jamur dan limbah pertanian menjadi Mycotech, yaitu bahan material bangunan yang ringan, fire proof, dan tidak lembab.

  • Kevin Kumala, Founder dan CEO Avani Eco. Bermula dari kegelisahan Kevin melihat sampah yang berserakan di Pantai Kuta yang tidak hanya mencemari pantai, namun juga mengotori lautan, Kevin mulai meneliti dan berinovasi untuk menciptakan kemasan dari bahan ramah lingkungan. Setelah melakukan penelitian sekitar 4 tahun, Kevin berhasil menemukan bahan pengganti plastik dari pati singkong. Pada tahun 2014, kantong bioplastik dengan brand Avani Eco akhirnya diluncurkan oleh Kevin. Avani Eco sendiri dapat terurai secara penuh dalam tanah selama 90 hari, serta sekaligus dapat menjadi pupuk bagi tumbuhan. Saat ini, Kevin sedang dalam upaya untuk lebih memperkenalkan produknya ke klien potensial, seperti hotel-hotel, untuk menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan.
  • Evy Gozali, CEO Sababy Winery.Bisnis ini bermula dari Evi yang menjumpai kondisi memprihatinkan dari petani anggur di Bali Utara, yang kehidupannya berbanding terbalik dengan masyarakat Bali Selatan yang menikmati perekonomian berbasis wisata yang sangat pesat. Melalui riset lebih lanjut, Evi juga mengetahui bahwa turis asing di Bali mengonsumsi hingga 21 juta liter wine setiap tahunnya. Hal inilah yang menarik minat Evy untuk berbisnis wine sekaligus untuk membantu petani anggur di Bali Utara. Untuk meningkatkan taraf hidup petani, Evy berani membeli anggur dari petani hingga 10 x lipat lebih mahal daripada yang dibayarkan oleh para tengkulak. Hasilnya, tidak hanya Sababy Winery sudah dikenal hingga level internasional, nasib petani anggur di Bali Utara pun jauh lebih baik. Jika dulu mereka hanya mendapat omzet sekitar 1 juta per tahun, sekarang mereka dapat mengantongi hingga 15 juta per bulan.
  • Helianti Hilman, owner brand Avara. Berangkat dari keprihatinan karena kearifan lokal dan keanekaragaman hayati Indonesia mulai dilupakan, Herlianti berinisiatif untuk mengembagkan bisnis dari hasil bumi Indonesia. Dia bekerja sama dengan para petani untuk membeli hasil panen dengan harga yang pantas dan selanjutnya diolah menjadi berbagai produk. Selain itu, Herlianti juga beberapa kali membantu petani ketika menghadapi problem yang spesifik. Contohnya, pada tahun 2010, Helianti ditelepon oleh petani jam 1 malam karena Gunung Merapi akan meletus dan sayuran yang akan dipanen harus dibeli secepatnya. Pada saat itu, Helianti membeli 1 ton tomat dan 500 Kg brokoli. Hasilnya, dia berhasil menciptakan produki mie sayuran yang saat ini sudah memiliki 14 varian rasa. Hingga saat ini, Javara sudah memberdayakan sekitar 50.000 petani di seluruh Indonesia, di mana 10.000-nya merupakan supplier tetap. Tidak hanya berhenti di pembelian hasil panen, Helianti juga memberikan pelatihan dan peralatan canggih ke petani untuk meningkatkan produksi pertaniannya.
  • Kevin Mintaraga, founder Bridestory. Berawal dari kesulitannya untuk mencari vendor di pernikahannya, Kevin berinisiatif untuk menciptakan sebuah direktori yang dapat mempertemukan calon mempelai dan vendor-vendor untuk acara pernikahan. Untuk memastikan kualitas vendor yang bergabung, tim Bridestory melakukan proses kurasi seperti memastikan nomor telepon dan email yang valid, serta mewajibkan portfolio untuk diunggah sebagai bukti mereka memang bergerak di bidang Wedding. Perkembangan terakhir, Bridestory sudah memiliki vendor dari 52 negara, dan sedang melanjutkan ekspansinya ke Asia Tenggara dengan membuka cabang di Singapura dan Filipina.
  • Jourdan Kamal, founder MauBelajarApa. Jourdan membuat situs direktori yang mempertemukan guru yang memiliki keahlian khusus dengan para murid yang ingin kursus. Hal ini diilhami oleh kesulitan adik Jourdan sendiri yang merupakan guru bahasa Inggris dan Mandarin, namun pada tahun 2012 kesulitan untuk memasarkan jasanya karena tidak adanya sebuah marketplace untuk jasa mengajar. Oleh karena itu, Jourdan mengajak partnernya untuk membuat sebuah situs direktori kursus bernama MauBelajarApa.
  • Zhafira Loebis. founder BabyLoania.com. Kebutuhan akan perlengkapan bayi tergolong banyak dan cukup membingungkan, terutama bagi orang tua yang baru memiliki anak pertama. Selain banyak, mayoritas dari peralatan maupun perlengkapan tersebut juga hanya dipakai sebentar saja, karena perkembangan bayi yang lain. Hal ini dipandang sebagai sebuah peluang oleh Zhafira, dengan membuat layanan penyewaan peralatan bayi yang bernama BabyLoania. Selain membantu orang tua menghemat pengeluaran dengan menyewa peralatan, Zhafira juga membantu orang tua lainnya yang menyewakan peralatan yang sudah tidak terpakai sehingga dapat menerima penghasilan tambahan.
  • Nova Dewi Setiabudi. Owner Suwe Ora Jamu. Nova merupakan salah satu penggemar minuman jamu sejak masih kecil dan tinggal di Surabaya. Sejak pindah ke Jakarta, dia merasa kesulitan untuk menemukan minuman jamu. Hal ini membuatnya tergerak untuk membuat jamu sendiri dan menjual. Tantangan pertama muncul dari suami dan keluarganya yang merasa sangsi bahwa minuman jamu akan dapat diterima oleh golongan anak muda. Namun, karena kecintaannya terhadap jamu dan tidak ingin jamu punah, maka Novi tetap menjalankan bisnisnya yang akhirnya menggunakan konsep kedai creative hub, di mana pengunjung dapat menikmati jamu dan cemilan tradisional yang sehat. Dalam perkembangannya, Nova juga terus berinovasi dan membuat produk jamu yang dikemas dalam botol kaca untuk dikonsumsi di luar kedai.
  • Leonard Theosabrata. Founder Indoestri Makerspace. Leo sudah lama berkecimpung dalam industri desain dan turut berkontribusi melahirkan Brightspot dan The Goods Dept, yang merupakan local market yang cukup terkenal di Indonesia. Menurut Leo, ada masalah krusial yang harus dipecahkan, yakni kualitas dan variasi produk yang masih rendah dari merek lokal. Setelah ditelusuri lebih lanjut, hal ini disebabkan karena banyaknya entrepreneur muda yang tidak turut terlibat dalam proses pembuatan dan pengembangannya. Oleh karena itu, Leo mendorong para entrepreneur lokal untuk lebih menghargai proses pembuatan produknya dengan mendirikan Indoestri Makerspace pada tahun 2014. Indoestri makerspace lebih sebagai wadah tempat seseorang bisa belajar berbagai ketrampilan, mulai dari kerajinan kulit, kayu, hingga metal. (NB: penulis juga pernah mengikuti kelas membuat Notebook Cover di Indoestri). Tujuan utama Indoestri, menurut Leo, bukanlah melahirkan pengrajin baru, namun mengedukasi pemilik industri yang mampu paham dan terlibat langsung dalam proses produksi.
  • Dissa Syakina Ahdanisa, Founder Deaf Cafe Fingertalk. Dissa merupakan salah seorang yang dipuji oleh presiden Barrack Obama, pada pertemuan pemuda ASEAN di Laos. Hal inspiratif dari Dissa adalah dia membangun Finger Talk, kedai dengan pekerja tuna rungu di Banten. Hebatnya, hal ini dia lakukan dengan tetap bekerja sebagai equity analyst di institusi global. Inspirasi untuk membuka kafe tuna rungu itu sendiri diperoleh Dissa dari kafe De Las Sonrisas di Nikaragua, yang di mana semua pekerjanya juga adalah tuna rungu.

Dari beberapa entrepreneur di atas, kita dapat mengetahui bahwa meskipun bisnis merupakan kegiatan komersial yang tujuannya adalah menghasilkan keuntungan finansial, namun founder atau business owner juga dapat mengintegrasikan bisnisnya dengan nilai sosial, seperti mendorong kehidupan masyarakat lain untuk menjadi lebih baik atau turut berpartisipasi menjaga lingkungan sehingga tidak semakin rusak. Dengan model bisnis yang tepat, storytelling yang kuat dan inspiratif, serta niat yang tulus, maka profit dan nilai sosial juga dapat berjalan berdampingan dalam sebuah bisnis.

Menurut saya pribadi, buku ini sangat ringan dan dapat dihabiskan dalam waktu sekitar 1 jam. Meskipun cukup singkat, namun nilai inspirasi di dalamnya cukup banyak dan mungkin akan memotivasi kita, terutama mereka yang aktif di bidang social entrepreneurship bahwa beberapa orang memang membuktikan dengan hasil nyata bahwa profit dan kontribusi sosial bukanlah hal yang harus dipilih salah satu secara eksklusif, namun juga dapat berjalan bersamaan, bahkan saling bersinergi satu dengan yang lain untuk memperkuat value dari bisnis yang kita jalankan.