#446 : Cincin yang Terpisah
Aku sedang memandangi cermin di depanku. Senyum merekah lebar di sana. Ada seorang putri yang cantik, mengenakan gaun putih dilengkapi tiara kecil di kepalanya. Di belakangnya, beberapa putri lain juga terlihat bercanda menggoda sang pengantin. Melepaskan masa lajangnya hari ini. Suasana pun terlihat ikut berbahagia. Siraman sinar matahari memasuki kamar tersebut, menimbulkan bayangan silhuet jendela yang indah. Pengantin wanita itu namanya Dini. Dan layaknya segerombolan wanita-wanita yang masih muda, sifat narsisme masih ada dalam benak mereka. Kini, mereka sibuk saling mengabadikan gambar di ponsel mereka masing-masing.
“Kring-kring”, bunyi ringtone berdering dari ponsel Dini, sang putri pada hari pernikahannya itu. Sebuah video call, tertulis nama penelpon, “Alvin Sayang”. Ah, sang pengantin pria sudah tidak sabar melihat wajah istrinya ternyata. Yah, sebenarnya mereka sudah resmi menikah di Gereja tadi pagi. Hanya saja, resepsi pernikahannya masih akan dilangsungkan pada malam harinya. “Halo sayang”, itulah ucapan yang terlontar dari mulut Alvin untuk Dini, dengan mulut mencucu mesra, seolah ingin mencium Dini. Selalu romantis, dan lucu, itulah arti Alvin buat Dini. Dan seketika, riuh-riuh godaan dari teman-teman Dini mulai membahana, hingga Dini terpaksa berpindah tempat untuk bermesraan dengan suaminya.
30 menit telah berlalu. Wajah Dini semakin sumringah tatkala berkumpul kembali dengan teman-teman yang menemaninya. Yah, gombalan romantis Alvin mungkin sudah menancap di benak Dini. Namun, Alvin bukanlah tukang gombal yang besar mulut saja. Dia berani menggombal berani berbuat. Itulah yang membuat Dini jatuh hati pada gentleman itu. Ketika Alvin melakukan pendekatan dengan Dini, dia pernah berujar bahwa dia akan menembak calon kekasihnya di sebuah taman bunga, taman yang penuh dengan bunga mawar. Dan benar saja, beberapa minggu sesudahnya, Alvin meminta Dini untuk menjadi pacarnya. Settingnya di rumah Dini. Lantas, apa yang membuat Dini meleleh hatinya ? Yah, taman di rumah Dini telah disulap oleh Alvin. Semuanya penuh dengan mawar, merah dan putih. Tidak ada warna hijau sedikitpun. Sedikit nasionalis mungkin, warna merah putih. Tapi begitulah cinta Alvin kepada Dini. Merah menggelora, namun putih nan suci.
4 tahun sudah berlalu sejak hari itu. Kini mereka akan menyatukan diri, membentuk sebuah keluarga kecil yang baru. Sambil menatap cincin pernikahan yang ada di jarinya, Dini mulai tersenyum sendiri. Membayangkan keluarga kecilnya, anak-anak yang lucu, rumah kecil nan nyaman, taman yang ditanami berbagai macam pohon kecil dan bunga. Siapa yang tidak ingin memiliki itu semua ? Betapa beruntungnya dirinya, pikir Dini.
Waktu terus berlalu, tanpa terasa. Sama halnya dengan hari-hari biasa di bumi, matahari pun tak kuasa bertahta di siang hari terus menerus. Senja mengantarkan sang surya ke peraduannya. Hari sudah semakin gelap. Dan kini Dini bingung. Kekasih pujaannya tidak bisa dihubungi, sementara 1 jam lagi mereka sudah harus menghadiri resepsi pernikahan mereka. Gelisah tampak jelas di matanya. Jangan-jangan ada sesuatu hal yang terjadi pada Alvin ? ataukah ini hanya salah satu kejutan Alvin yang romantis lagi buat dirinya ? Entahlah.
Tidak bisa menunda waktu lagi, petugas-petugas EO acara resepsi ini meminta Dini segera bersiap-siap dulu, membetulkan make-upnya, merapikan gaun, dan lain-lain. Serangkaian prosesi yang melelahkan, pikirnya. Belum lagi muncul suaminya. Mana bisa dia duduk diam dan tenang, membiarkan rambut dan wajahnya diperindah, sementara hatinya gundah gulana.
Tidak lama kemudian, Dini telah siap. Siap secara lahiriah. Namun, batinnya semakin berdegup kencang. Semakin tegang, cemas, semua bercampur menjadi satu. Temannya yang melihat menjadi cemas juga, segera membuka televisi untuk mencairkan suasana. Pertama kali dibuka, terlihat acara ‘News Update’, yang menampilkan berita-berita terbaru saat itu juga. Mereka melihat berita tentang kecelakaan mobil. Temannya segera mengganti channel sambil berkata, “Pamali Din, hari pernikahan nonton kecelakaan gitu”.
Namun, Dini tidak pernah lupa. Mobil Mercy hitam, dengan bunga mawar berwarna merah itu. Mobil yang mengangkutnya ke Gereja tadi siang, untuk meresmikan pernikahannya di mata Tuhan. Dia pun semakin histeris, sambil berteriak,”Eh, kembalikan channel tadi. Itu mobil yang aku naiki tadi pagi!!!”. Teman-temannya segera terperanjat, seraya mengembalikan channel ke berita kecelakaan tadi. Dini pun langsung berdiri, mendekati televisi.
Mendengarkan kata reporter itu, melihat sendiri kecelakaan yang menjungkir-balikkan mobil itu, membuat Dini hancur seketika. Dia jatuh lunglai, dengan lutut masih menopang badannya. Air mata segera meleleh dari kedua matanya. Melunturkan semua riasan nan ayu. Dia melihat sesuatu yang tidak diinginkannya. Seorang pria di dalam mobil itu, samar-samar terlihat mengenakan cincin yang serupa dengan cincin di jari Dini. Tatapan Dini sejenak kosong, menatap ke cincin di jarinya.
Apakah selama ini semua yang dialaminya hanyalah mimpi indah yang berujung kenyataan pahit ? Ataukah kecelakaan tersebut hanya mimpi buruk dari sejumlah kenyataan hidup yang indah ? Dini tidak tahu dengan pasti. Kesadarannya mulai menghilang, seiring dengan pudarnya mimpi indahnya. Hitam. Kelam.
Cerpen ini dibuat untuk jejakubikel.com dengan genre TRAGEDI , tema kecelakaan
Ceritanya cukup bagus, namun kenapa kalimat pertama pada paragraf pertama begitu nanggung ya ? cuma mandangin cermin dan muncul 1x di depan saja. Settingnya banyak menceritakan orang ketiga, sehingga orang pertama yang peranannya kurang dominan sebagai pemandang cermin mungkin bisa dihapus.