#445 : Kenangan Pahit Sang Reporter
Musik klasik masih mengalun nan merdu. Suasana remang-remang di sebuah cafe nan anggun. Masih belum banyak orang di sini. Senja belum tiba, tapi matahari seolah sudah mau berpaling. Awan gelap mulai berdatangan. Mendung. Ditemani bunyi geledek sesekali. Keramaian kecil itu sama sekali tidak mengganggu Tasya, yang duduk di salah sudut di dalam cafe itu. Tangannya masih cekatan mengetikkan kata demi kata di laptopnya. Sesekali, dia terhenyak, terdiam dalam keheningan. Entah apa yang diketikkannya. Yang jelas, itu pastilah berkaitan dengan hal yang memantik emosinya. Mimik wajahnya tidak bisa berbohong.
Beberapa waktu berlalu, hujan pun turun. Ingatan Tasya kembali ke beberapa tahun silam. Saat itu, dia masih bekerja sebagai reporter untuk sebuah stasiun televisi. Berjiwa muda, senang dengan petualangan, suka menemui hal dan orang-orang baru. Syarat yang cocok untuk menjadi reporter, bukan ? Hari-harinya dipenuhi dengan warna-warni hidup yang tak pernah menjemukan. Mencari narasumber yang susah ditemukan, mengorek informasi yang sensitif, bahkan meliput langsung dari daerah yang dilanda peperangan adalah hal yang biasa, namun selalu memberikan sensasi yang baru bagi Tasya.
Suatu hari, teleponnya berdering. Bosnya menanyakan apakah dirinya siap meliput di daerah bencana alam. Tasya, seperti biasa, selalu menyanggupinya dengan antusias. Tidak lama setelah menutup teleponnya, Tasya melakukan ritual biasanya, menelepon orang tua untuk meminta izin. Seperti biasa, Ibunya hanya menjawab,”Hati-hati di sana. Jangan membahayakan diri kamu sendiri. Kerjaan bisa dicari lagi, nyawa ini cuma satu, Nak.” Sebenarnya, dari lubuk hati yang terdalam, Ibunya tidak rela Tasya bepergian ke tempat di mana Tasya harus mempertaruhkan nyawanya. Kehilangan sang suami saja sudah cukup berat. Namun, Tasya terlampau keras kepala. Sang Ibu pun menyerah, hanya bisa mendoakan dari jauh saja.
Malam itu juga, Tasya dan 3 orang kru lainnya bertolak ke daerah yang baru saja diterjang gempa bumi hebat. Sesaat setelah mereka sampai di tempat tujuan, mereka terpana melihat reruntuhan dan retakan bangunan-bangunan di sana. Layaknya kota yang baru saja dijungkir-balikkan. Mayat-mayat mereka yang kurang beruntung masih terlihat. Tim penyelamat masih berusaha mencari korban yang selamat. Tim lainnya mulai menyisir dan mengangkut mayat-mayat di tempat. Bau busuk menyerbak, suasana pilu menyayat hati siapa saja. Samar-samar terdengar tangisan yang melolong, mengiris hati. Tanpa membuang waktu, segera saja rombongan ini mencari spot yang tepat, dan melakukan live report untuk acara berita di TV.
Dini hari, rombongan kru memutuskan untuk beristirahat. Kegelapan malam makin membuat situasi mencekam, seolah hawa kehidupan tersedot entah ke mana, nyaris tidak ada. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Beberapa jam kemudian, keheningan pecah. Banyak suara riuh gemuruh, teriakan-teriakan menyelamatkan diri mulai ramai. Tasya terbangun, terkejut. Tanah tempat mereka berdiam seolah-olah menari, menggelinjang. Retakan-retakan muncul dari tanah. Getaran yang dahsyat. Spontan Tasya berteriak,”Teman-teman, lari! Ada gempa susulan”. Seketika, rombongan pun terbangun dari mimpi mereka, berhamburan menyelamatkan diri. Entah bagaimana caranya, mereka berusaha berlari, berlompatan, menuju tempat yang paling ramai.
Sayangnya, nasib Tasya sedikit kurang beruntung. Kakinya tersangkut sebuah rongsokan mobil. Rekan-rekannya berusaha menyelamatkan dirinya, membantu mengangkat rongsokan itu. Malang, saat itu pula, bumi kembali mengamuk hebat. Getaran gempa yang lebih dahsyat muncul. Bayangan hitam segera menyeringai di atas mereka. Tasya hanya mendengar rekannya berteriak, “Lariiiii!! Toko itu mau roboh!”. Pandangan matanya mulai gelap. Tengkuknya terasa sangat dingin. Dia hanya pasrah saja, tubuhnya terkulai lemah di sana. Dalam benaknya, sekelabat bayangan ibu dan adik-adiknya muncul. Lalu hitam kelam. Ingatannya tentang bencana itu hanya sampai di sana.
“Klap”, bunyi laptop ditutup. Lamunan Tasya terputus oleh kehadiran seorang pria tegap, di dadanya terpampang logo sebuah penerbit. Tasya berdiri, memperkenalkan diri, “Perkenalkan, Tasya, mantan reporter, dan sekarang jadi penulis freelance”. Bunyi gemeretak kecil muncul.
Pria tersebut balas mengenalkan diri, “Hai Tasya, namaku Tomy. Hari ini kita interview sebentar ya”. Mata Tomy sejenak pun melongok ke bawah, melihat kedua bilah metal yang tertanam di bawah lutut Tasya, pengganti sepasang kakinya.
post ini merupakan cerpen untuk jejakubikel.com dengan tema BENCANA
Karena Tasya sudah tidak bisa menjadi reporter karena kehilangan kakinya, maka Tasya beralih profesi sebagai penulis. Lalu muncullah Tomy sebagai penerbit.
Makna yang saya ambil dari tulisan ini adalah Tuhan selalu senantiasa menjada kita, walaupun dalam kondisi cacat.
“Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” (Matius 6:25-26)