Pilihan Berat
Air mata masih menetes di pipi sang Wanita. Raut mukanya sangat kusut, nafasnya masih sesenggukan. Dari sana saja, aku bisa tahu bahwa dia pastilah mengalami masalah yang sangat berat. Cukup memprihatinkan, menurutku, betapa wanita yang cantik dan elok ini sekarang berada di depanku menangis tersedu-sedu.
Beberapa saat kemudian, aku melihat seorang lelaki keluar dari ruangan dokter. Dia juga terlihat gugup dan gelisah, sama halnya dengan wanita itu. Dugaanku, mungkin mereka berdua adalah sepasang kekasih. Bahkan, aku curiga mereka adalah sepasang suami istri. Cincin yang melingkar di jari mereka berdua menjadi penguat firasatku. Lantas, apa yang membuat mereka berada di sini ? Di sini ? ya, ini adalah tempat praktek dokter kandungan, dan aku sendiri sedang mengantarkan kakak perempuanku memeriksakan kandungannya.
Dugaan pertamaku tentu adalah si Wanita tersebut hamil di luar nikah. Namun, perkiraanku kandas ketika melihat cincin yang sama di jari mereka. Maka, pikiranku berkelana laksana detektif. Tangisan dan muka susah sangat tidak umum ditemui di tempat dokter kandungan, di mana semua pasangan bersemangat memeriksakan calon anak mereka. Hal inilah yang membuat aku tidak henti-hentinya memikirkan segala kemungkinan yang mungkin saja bisa terjadi.
Lelaki itu lantas mengeluarkan sebatang rokok dari kantongnya, seraya menyulut rokok itu dan beranjak keluar ruangan. Berusaha menghilangkan ketegangan dan kegelisahannya, mungkin. Sang Wanita pun sudah mulai bisa mengatur emosinya. Lelehan air matanya sudah mulai melemah. Hanya tatapan kosong dan cemas itu yang masih tergambar dengan jelas. Dasar aku yang masih penasaran saja, lalu aku pun mengajaknya ngobrol. Mungkin saja aku dapat membantu kesulitannya.
“Maaf, Mbak. Kalau boleh tahu, kenapa anda menangis di sini ? Apakah anda mengalami masalah sulit ?”, tanyaku
” Mas siapa ? Sedang apa di sini ?”, jawabnya dengan masih sesenggukan menahan tangis.
Singkat kata, aku pun mulai mengobrol dengannya. Rupanya, hari itu, dia dan suaminya pergi ke dokter kandungan untuk berkonsultasi. Mereka ingin menggugurkan janin yang sedang dikandungnya. Janin itu adalah calon anak mereka yang ke-5. Yah, sudah ada 4 orang anak yang membebani hidup mereka. Dan rupa-rupanya, mereka merasa terbebani dengan adanya tambahan seorang anak lagi.
Tapi, terlepas dari kesulitan ekonomi yang melanda mereka, mereka juga keluarga yang taat beragama. Sadar betul dalam benak mereka, bahwa tindakan aborsi pun adalah tindakan yang berdosa dan merupakan salah satu bentuk pembunuhan. Itulah sebabnya mengapa wajah kusut, sedih, dan gelisah yang terpampang pada wajah sepasang suami istri ini sekarang. Dalam hati mereka, terjadi pergulatan batin, perang yang sangat sulit untuk dimenangkan dengan bahagia. Jalan apapun yang ditempuh serasa berat untuk mereka. Taruhannya, kebahagiaan keluarga ini dengan kondisi ekonominya, ataupun dosa berat karena membunuh darah daging mereka sendiri. Apapun pilihan yang mereka ambil, perang ini sudah terasa kalah bagi mereka.
Aku sendiri hanya bisa iba mendengar kisah keluarga ini. Sungguh kasihan mereka. Terjepit di antara dua pilihan berat. Aku hanya bisa menitipkan doa pada wanita tersebut, tatkala kakakku keluar dari ruangan dokter. Kami pun berpamitan. Tanpa pernah tahu, apakah bayi mereka tersebut akan pernah menghirup udara dunia ini atau tidak.